Rabu, 05 Desember 2012

Renungan

Sore itu, menunggu kedatangan teman yang akan menjemputku di masjid ini seusai ashar.
Seorang akhwat datang, tersenyum dan duduk disampingku, mengucapkan salam, sambil berkenalan dan sampai pula pada
pertanyaan itu.
“Anty sudah menikah?”.
“Belum mbak”, jawabku.
Kemudian akhwat itu, bertanya lagi “kenapa?”
Hanya bisa ku jawab dengan senyuman.
Ingin ku jawab karena masih kuliah, tapi rasanya itu bukan alasan.
“mbak menunggu siapa?”
aku mencoba bertanya.
“nunggu suami” jawabnya.
Aku melihat kesamping kirinya, sebuah tas laptop dan sebuah tas besar lagi yang tak bisa kutebak apa isinya.
Dalam hati bertanya- tanya, dari mana mbak ini?
Sepertinya wanita karir.
Akhirnya kuberanikan juga untuk
bertanya
“mbak kerja dimana?”,
Entahlah keyakinan apa yg meyakiniku
bahwa mbak ini seorang pekerja,
padahal setahuku, akhwat2 seperti ini kebanyakan hanya mengabdi sebagai ibu rumah tangga.
“Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya
resmi tidak bekerja lagi”, jawabnya
dengan wajah yang aneh menurutku,
wajah yang bersinar dengan ketulusan hati.
“kenapa?” tanyaku lagi.
Dia hanya tersenyum dan menjawab
“karena inilah cara satu cara yang bisa membuat saya lebih hormat pada suami” jawabnya tegas.
Aku berfikir sejenak, apa
hubungannya?
Heran, Lagi-lagi dia hanya tersenyum.
Ukhty, boleh saya cerita sedikit?
Dan saya berharap ini bisa menjadi
pelajaran berharga buat kita para
wanita yang Insya Allah akan didatangi oleh ikhwan yang sangat mencintai akhirat.
“saya bekerja di kantor, mungkin tak
perlu saya sebutkan nama kantornya.
Gaji saya 7juta/bulan.
Suami saya bekerja sebagai penjual roti bakar dipagi hari, es cendol di siang hari.
Kami menikah baru 3 bulan, dan kemarinlah untuk pertama kalinya saya menangis karena merasa durhaka padanya.
Waktu itu jam 7 malam, suami baru
menjemput saya dari kantor, hari ini
lembur, biasanya sore jam 3 sudah
pulang.
Saya capek sekali ukhty. Saat
itu juga suami masuk angin dan
kepalanya pusing, dan parahnya saya
juga lagi pusing, Suami minta
diambilkan air minum, tapi saya malah berkata, “abi, umi pusing nih, ambil sendirilah”.
Pusing membuat saya tertidur hingga
lupa sholat isya.
Jam 23.30 saya terbangun dan cepat-cepat sholat, Alhamdulillah pusing pun telah hilang.
Beranjak dari sajadah, saya melihat
suami saya tidur dengan pulasnya.
Menuju ke dapur, saya liat semua
piring sudah bersih tercuci.
Siapa lagi yang mencucinya kalo bukan suami saya?
Terlihat lagi semua baju
kotor telah di cuci, Astagfirullah,
kenapa abi mengerjakan semua ini?
Bukankah abi juga pusing tadi malam?
Saya segera masuk lagi ke kamar,
berharap abi sadar dan mau
menjelaskannya, tapi rasanya abi
terlalu lelah, hingga tak sadar juga.
Rasa iba mulai memenuhi jiwa saya,
saya pegang wajah suami saya itu, ya
Allah panas sekali pipinya, keningnya, Masya Allah, abi demam, tinggi sekali panasnya.
Saya teringat atas perkataan terakhir saya pada suami tadi.
Hanya disuruh mengambilkan air minum saja, saya membantahnya.
Air mata ini menetes, betapa selama ini saya terlalu sibuk diluar rumah, tidak memperhatikan hak suami saya.”
Subhanallah, aku melihat mbak ini
cerita dengan semangatnya, membuat hati ini merinding, dan kulihat juga ada tetesan air mata yg di usapnya.
“anty tau berapa gaji suami saya?
Sangat berbeda jauh dengan gaji saya.
Sekitar 600-700rb/bulan, 10x lipat dari gaji saya.
Dan malam itu saya benar- benar merasa durhaka pada suami saya. Dengan gaji yang saya miliki, saya
merasa tak perlu meminta nafkah pada suami, meskipun suami selalu
memberikan hasil jualannya itu pada
saya, dan setiap kali memberikan hasil jualannya , ia selalu berkata “umi,,ini
ada titipan rezeki dari Allah, di ambil
ya?
Buat keperluan kita, dan tidak
banyak jumlahnya, mudah2an umi
ridho”, begitu katanya.
Kenapa baru sekarang saya merasakan dalamnya kata-kata itu. Betapa harta ini membuat saya sombong pada nafkah yang diberikan suami saya”,
lanjutnya
“Alhamdulillah saya sekarang
memutuskan untuk berhenti bekerja,
mudah-mudahan dengan jalan ini, saya lebih bisa menghargai nafkah yang diberikan suami.
Wanita itu begitu susah menjaga harta, dan karena harta
juga wanita sering lupa kodratnya, dan gampang menyepelekan suami.”
Lanjutnya lagi, tak memberikan
kesempatan bagiku untuk berbicara.
“beberapa hari yang lalu, saya
berkunjung ke rumah orang tua, dan
menceritakan niat saya ini.
Saya sedih,karena orang tua dan saudara-saudara saya tidak ada yang mendukung niat saya untuk berhenti berkerja.
Malah mereka membanding-bandingkan pekerjaan suami saya dengan orang lain.”
Aku masih terdiam, bisu, mendengar
keluh kesahnya.
Subhanallah, apa aku bisa seperti dia?
Menerima sosok pangeran apa adanya, bahkan rela meninggalkan pekerjaan.
“kak, kita itu harus memikirkan masa
depan.
Kita kerja juga untuk anak-anak
kita kak, biaya hidup sekarang ini
besar, begitu banyak orang yang butuh pekerjaan.
Nah kakak malah pengen berhenti kerja, Suami kakak pun
penghasilannya kurang, mending kalo suami kakak pengusaha kaya, bolehlah kita santai-santai aja di rumah.
Salah kakak juga sih, kalo mau jadi ibu rumah tangga, seharusnya nikah sama yang kaya, sama dokter muda itu yang berniat melamar kakak duluan sebelum sama yang ini.
Tapi kakak lebih milih nikah sama orang yang belum jelas pekerjaannya.
Dari 4 orang anak bapak, Cuma suami kakak yang tidak
punya penghasilan tetap dan yang
paling buat kami kesal, sepertinya
suami kakak itu lebih suka hidup
seperti ini, ditawarin kerja di bank oleh saudara sendiri yang ingin
membantupun tak mau, sampai heran aku, apa maunya suami kakak itu”.
Ceritanya kembali, menceritakan
ucapan adik perempuannya saat
dimintai pendapat.
“anty tau, saya hanya bisa nangis saat itu, Saya menangis bukan Karena apa yg dikatakan adik saya itu benar, bukan karena itu, Tapi saya menangis karena imam saya dipandang rendah olehnya. Bagaimana mungkin dia meremehkan setiap tetes keringat suami saya, padahal dengan tetesan keringat itu, Allah memandangnya mulia. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang senantiasa membangunkan saya untuk sujud dimalam hari.
Bagaimana mungkin dia menghina orang yang dengan kata-kata lembutnya selalu menenangkan hati
saya.
Bagaimana mungkin dia menghina orang yang berani datang pada orang tua saya untuk melamar saya, padahal saat itu orang tersebut
belum mempunyai pekerjaan.
Baigaimana mungkin seseorang yang
begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah dihadapannya hanya karena sebuah pekerjaan.
Saya memutuskan berhenti bekerja,
karena tak ingin melihat orang membanding-bandingkan gaji saya
dengan gaji suami saya.
Saya memutuskan berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang
diberikan suami saya.
Saya juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak suami saya.
Semoga saya tak lagi membantah
perintah suami.
Semoga saya juga ridho atas besarnya nafkah itu.
Saya bangga ukhti, dengan pekerjaan suami saya, sangat bangga, bahkan begitu menghormati pekerjaannya, karena tak semua orang punya keberanian dengan
pekerjaan itu. Kebanyakan orang lebih memilih jadi pengangguran dari pada melakukan pekerjaan yang seperti itu.
Tapi lihatlah suami saya, tak ada rasa
malu baginya untuk menafkahi istri
dengan nafkah yang halal.
Itulah yang membuat saya begitu bangga pada suami saya.
Semoga jika anty mendapatkan suami
seperti saya, anty tak perlu malu untuk menceritakannya pekerjaan suami anty pada orang lain.
Bukan masalah pekerjaannya ukhty, tapi masalah halalnya, berkahnya, dan kita memohon pada Allah, semoga Allah menjauhkan suami kita dari rizki yang haram”. Ucapnya terakhir, sambil tersenyum manis padaku.
Dia mengambil tas laptopnya,,
bergegas ingin meninggalkannku.
Kulihat dari kejauhan seorang ikhwan dengan menggunakan sepeda motor butut mendekat ke arah kami,
wajahnya ditutupi kaca helm, meskipun tak ada niatku menatap mukanya.
Sambil mengucapkan salam, meninggalkannku.
Wajah itu tenang sekali, wajah seorang istri yang begitu ridho.
Ya Allah….
Sekarang giliran aku yang menangis.
Hari ini aku dapat pelajaran paling baik dalam hidupku.
Pelajaran yang membuatku menghapus sosok pangeran kaya yang ada dalam benakku..
Subhanallah...
Subhanallah

#Share postingan milik teman saya:)

1 komentar:

  1. Kadangkala, atau seringnya sekarang orang tua memang menginginkan anaknya punya calon suami yang mapan dan mampu membina masa depan, tanpa memikirkan masa depan akhiratnya. Sedangkan ikhwan yang baik akhlak dan sukses pekerjaannya itu jarang -.- dan kadangkala muncul dalam benak saya apakah kita pantas untuk dia? apakah dia merasa pantas bersanding dengan kita.
    Dan satu lagi adalah masalah hati,
    ah ya masalah hati yang kadangkala buntu dalam masa depan atau terlalu jauh memikirkan masa depan, harapan-harapan, dan yang tersulit memang perasaan... >.<

    BalasHapus